RESTORASI: MENYULAP FILM LAMA MENJADI BARU
Beberapa orang, khususnya para penikmat film, mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah ‘restorasi film’. Restorasi film adalah sebuah upaya untuk ‘menyulap’ film lawas yang kondisi fisiknya sudah tidak baik agar kembali menjadi mulus. Istilah restorasi mulai dikenal baik oleh masyarakat banyak ketika hasil restorasi film Tiga Dara (1956) karya Usmar Ismail muncul dan ditayangkan di bioskop Indonesia. Dengan menggunakan teknologi restorasi 4K, film Tiga Dara berhasil dikembangkan kualitasnya sehingga menghasilkan gambar dan suara yang lebih tajam, bersih, dan jernih.
Film Tiga Dara hasil restorasi |
Restorasi film sendiri terbagi menjadi beberapa tahap. Pertama tentunya materi film perlu untuk dicari. Pencarian materi film ini bisa saja tidak hanya dilakukan di satu tempat arsip, sehingga proses pencarian materi pun dapat memakan waktu yang berbulan-bulan. Lalu, setelah materi film didapatkan, dilakukan pemulihan manual atau proses restorasi fisik pita seluloid secara manual yang dapat memakan waktu cukup lama. Pemulihan ini dilakukan per gulungan pita. Untuk satu judul film proses ini minimal membutuhkan waktu satu bulan. Setelah itu, dimulai proses pemindahan ke format digital. Proses pemindahan ini dilakukan per frame, baik untuk video dan audio, kemudian disatukan melalui mastering. Tahap terakhir adalah penggabungan hasil manual dan digital. Proses ini dilakukan per frame dan berulang kali. Waktu yang dibutuhkan bisa berminggu-minggu atau bahkan hingga setahun.
Proses restorasi film memang memakan waktu yang lama dan juga memakan biaya yang besar. Namun saat ini restorasi menjadi suatu hal yang penting, terutama untuk menyelamatkan film-film lama Indonesia yang tingkat kerusakannya terbilang cukup parah. Kebanyakan arsip film-film lama Indonesia berada dalam kondisi fisik yang mengkhawatirkan. Kerusakan yang dialami materi film dalam format seluloid pada umumnya adalah pita film yang robek atau tergores, terkena debu, terdapat bekas sidik jari, dan serangga yang menempel pada seluloid atau pita film. Selain itu, kondisi alam dan cuaca tropis di Indonesia juga mempengaruhi pita film menjadi cepat berjamur atau mencair dan mengeluarkan bau asam. Hal-hal tersebut jika dibiarkan akan memperparah keadaan kualitas film-film lama yang ada. Gerakan penyelamatan film melalui restorasi perlu untuk terus dilanjutkan. Kita tidak ingin film-film yang menjadi bagian sejarah perfilman Indonesia hilang begitu saja bukan?
Dalam Madani Film Festival tahun ini, akan ditampilkan dua film hasil restorasi, yaitu Pagar Kawat Berduri (1961) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982). Pagar Kawat Berduri bercerita tentang sejumlah pejuang yang ditawan di masa revolusi fisik. Hampir semua berusaha untuk melarikan diri, namun bukanlah hal yang mudah. Disaat yang lain coba mencari jalan untuk meloloskan diri, Parman (Sukarno M. Noor) justru bersahabat dengan salah seorang perwira Belanda, yaitu Koenen (B. Ijzerdraat). Hal ini menyebabkan kawan lainnya menganggap ia sebagai pengkhianat, padahal Parman sebenarnya berniat untuk mencari informasi.
Pagar Kawat Berduri (1961) |
Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) bercerita tentang seorang guru yang bercitacita melakukan perubahan di sebuah kampung namun harus berhadapan dengan ketidaksukaan penduduk. Ia dituduh memerkosa seorang gadis. Kemunafikan warga akhirnya terbongkar oleh seorang ustad yang mengunjungi kampung tersebut.
Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) |
Tunggu segera informasi mengenai jadwal penayangan kedua film ini di Madani Film Festival!
Comments
Post a Comment